Sunday, November 1, 2015

Ganjia Grasslands, The Majestic Of Gansu Part-1



Perjalanan ke propinsi Gansu di China Barat Laut kali ini, yang paling berkesan justru ketika kami melakukan perjalanan singkat ke sebuah tempat bernama Ganjia. Sebelum menginjakkan kaki di sini, jujur saya tidak memiliki gambaran sama sekali tentang daerah ini. Karena tujuan utama kami sebenarnya adalah kota Xiahe dan Danxia, bukan tempat ini.

Teman saya Ovie sempat menyinggung nama tempat ini beberapa minggu sebelum perjalanan kami dimulai. Namun saya benar-benar tidak tahu apa yang akan dilakukan di sana dan tidak bisa membayangkannya saat itu. Apalagi belum bisa dipastikan apakah kami memiliki waktu yang cukup atau tidak selama berada di Xiahe. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk mengeksplor tempat ini, setelah mempelajari sebuah peta kabupaten Xiahe yang ditempel di atas dinding Tara Guesthouse, tempat kami menginap selama berada di Xiahe. Lalu bagaimana kondisi alam yang sesungguhnya dan apa yang kami temukan di sana? Hmm….. benar-benar amazing, dan saya langsung tersihir dan jatuh cinta pada alamnya, yang masih begitu virgin.

Ganjia (baca : Kan Cia) berada di bagian barat laut kabupaten Xiahe. Tempat ini memiliki alam yang sangat indah, namun untuk sektor pariwisata sepertinya baru sedang dirintis. Jika di kota Xiahe turis lokal sudah banyak berdatangan. Setiap penginapan, restoran dan toko-toko ramai dipenuhi pengunjung, sedangkan di Ganjia jangankan toko atau restoran, pemukiman warga saja jarang-jarang. Padahal Ganjia letaknya sangat strategis karena berada pada lintasan penghubung antara Xiahe dan Xining.

Tetapi pada kenyataannya masih belum banyak wisatawan yang datang kemari. Hal ini bisa dibuktikan ketika kami sedang berada di sana, kami tidak menemukan adanya turis lain baik lokal maupun asing selain kami berempat. Namun kelihatannya pemerintah daerah Ganjia sudah mulai berbenah diri. Pembangunan infrastruktur berupa pembukaan jalan baru, membelah bukit serta pelebaran jalan-jalan lama, sedang giat dikerjakan. Mobil yang kami carter terpaksa harus 2 kali berhenti dan antri untuk bisa melintasi wilayah yang sedang dilakukan perbaikan jalan, karena diberlakukan sistem buka tutup. Ini kondisi lapangan yang kami temukan pada penjelajahan kami di awal bulan Agustus lalu.





Meski demikian, waktu tunggu selama antrian tidak membosankan. Karena sepanjang mata memandang, kami dimanjakan oleh view yang sangat indah. Di mana saja kami memandang, di situ juga kami dengan mudah akan menemukan padang rumput yang luas. Saking luasnya padang rumput di tempat ini, membuat saya mengambil kesimpulan bahwa permukaan bumi yang berada di wilayah Ganjia ini seluruhnya adalah padang rumput, sedangkan kawanan ternak dan bunga-bunga liar hanyalah hiasan belaka.


















Hanya satu hal yang membuat saya bertanya-tanya, manusianya pada ke mana, karena selama kami berada di sana jarang sekali melihat penduduk lokal yang berlalu lalang, juga pemukiman warga. Melihat kondisi seperti ini, tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa tempat ini masih sangat natural, mirip zaman peradaban manusia awal. Jumlah populasinya sedikit, sedangkan tanahnya sangat luas, dan sangat sepi. Situasi seperti ini sangat bertolak belakang dengan bagian lain dari China, yang pada umumnya sangat ramai dan padat penduduknya. 


Berikut ini adalah 5 tempat yang kami datangi di Ganjia :
  • Tseway Gompa Bon Monastery (Zuohai Monastery)
  • Bajiao Walled Village (Bajiao Old Town) 
  • Baishiya/ White Cliff Valley
  • Baishiya Cave (Nekhang Cave)
  • Ganjia Grasslands 


Tseway Gompa Bon Monastery
Monastery ini berada di desa Zuohai, sehingga dikenal juga dengan nama Zuohai Monastery. Selain Tseway Gompa Monastery dan Zuohai Manastery, Monastery ini juga dikenal dengan nama Tsezhik Monastery.
Monastery ini terdiri dari beberapa bangunan. Beberapa di antaranya terlihat sudah sangat tua, dan oleh penduduk di Ganjia, monastery ini diklaim sudah berusia ribuan tahun. 













Bajiao Walled Village
Bajiao artinya segi delapan atau sudut delapan, dengan kata lain tempat ini (Bajiao Cheng) adalah sebuah desa kuno yang dikelilingi oleh benteng tanah berbentuk delapan persegi. Konon desa ini sudah terbentuk sejak Dinasti Han (206SM-220) dan sekarang dihuni oleh petani-petani dari suku Tibet. Bangunannya atau rumah penduduk di dalam benteng ini rata-rata dindingnya masih terbuat dari tanah.


sisi luar tembok 


sisi luar tembok 


Jika kita naik ke atas tembok, kita bisa melihat desa yang dikelilingi oleh tembok ini secara menyeluruh, maupun keindahan alam di sekitar tembok. Kondisi dari tembok ini benar-benar sudah sangat tua dan kemakan usia, terlihat beberapa bagian sudah tidak utuh lagi.












Baishiya / White Cliff Valley
Ketika masih berada di kejauhan, saya langsung terpikat oleh tempat ini. Meskipun tidak dapat melihat apa yang berada di belakang bukit, namun insting saya memberi isyarat ada sesuatu yang sangat spektakuler di balik sana. Dalam situasi seperti ini saya dapat merasakan bahwa alam itu terus memanggil, memanggil agar segera mendekat, lalu bersentuhan, mengalami dan merasakan kemegahan itu dari jarak dekat, sebuah kemegahan ciptaan Tuhan yang tidak mampu diungkapkan dengan kata-kata.







Seketika itu juga, jiwa liar saya langsung terbakar dan haus akan sebuah keagungan alam yang super dahsyat. Ada sebuah kekuatan besar yang menarik saya untuk segera menghampirinya, lalu saya meminta kepada driver untuk segera mendekati target. Saat melihat dari kejauhan,  tempat ini sepertinya tidak terlalu jauh. Namun setelah mobil mulai bergerak menuju target, ternyata jaraknya lumayan jauh. Setelah melewati sebuah stupa besar berwarna putih, kami akhirnya tiba di tempat tujuan.
Namun bukit yang menutupi tebing di belakangnya ternyata cukup tinggi. Di kaki bukit tempat mobil kami berhenti, ketinggiannya saja sudah mencapai di atas 3000m dpl. Melihat kondisi seperti ini saya sempat berpikir untuk menyerah, namun karena didorong oleh rasa ingin tahu yang besar dan suara alam yang terus memanggil, akhirnya saya memutuskan untuk tetap mendaki.




 Selfie dulu sebelum mulai mendaki

Begitu tiba di atas bukit, meski nafas masih ngos-ngosan namun coba anda tebak apa yang kami dapatkan di balik bukit ini? Wow….so amazing, saya langsung tercengang ketika saya melihat alam yang begitu dahsyat, disuguhkan langsung di hadapan saya. Ternyata ada sebuah lembah yang begitu eksotis di balik bukit ini. Saya mencoba mengumpulkan semua tenaga yang tersisa dan berteriak sekencang-kencangnya. Seketika itu juga terdengar suara menggema balik bersahutan. Ini real, ternyata saya tidak sedang bermimpi.

Pertemuan ke dua sisi bukit barisan yang kokoh ini membentuk celah mirip huruf "V". Benar-benar indah dan megah. Ingin sekali turun dan menyusuri lembah itu hingga ke sisi belakang tebing, namun sayang waktu tidak memungkinkan kami untuk melakukan itu pada penjelajahan kali ini. Jika saya datang lagi, saya bertekad akan masuk ke celah itu dan menyusuri lembah ini. Saya sangat yakin bisa menemukan sesuatu yang lebih dahsyat.














Suasana di atas bukit dan sekitarnya begitu hening, benar-benar hening, sangat hening dan hening yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Ada damai yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Tidak ada orang lain di sana, hanya saya dan teman saya Ali karena Rini dan Nia menyerah setelah melihat terjalnya bukit ini. Ingin rasanya duduk berlama-lama di atas sana sambil memandang alam yang begitu megah. Juga ingin berteriak sekali lagi sekeras-kerasnya, melepaskan semua kegalauan dan beban pikiran yang masih menempel di kepala ini. Ada kepuasan tersendiri saat menemukan tempat ini, karena penemuan ini dilakukan secara tidak sengaja dan benar-benar tanpa direncanakan sebelumnya.




Saat kami kembali ke Xiahe, saya menunjukkan foto lembah ini kepada manager Tara Guesthouse. Dia terlihat sangat terkejut dan menanyakan di mana saya menemukan tempat ini. Menurut dia Baishiya di Ganjia secara umum hanya dikenal sebagai deretan tebing yang berwarna abu muda dan ketika terpancar oleh sinar matahari siang tebing itu akan tampak berwarna putih, namun belum pernah ada yang menyoroti lembah yang terdapat di cekungan, pada pertemuan antara dua sisi tebing ini, and it looks so amazing.

Hanya sedikit sayang kamera saya tidak dilengkapi lensa wide angle, sehingga tidak mampu mengambil pemandangan ini secara baik. Saya mencoba mengambilnya dengan menggunakan lensa fish eye tetapi hasilnya tetap tidak mampu menggambarkan kemegahan yang sesungguhnya, karena lensa Fish Eye menarik obyek terlalu jauh ke belakang sehingga alam yang megah kelihatannya menjadi kerdil, tidak lagi semegah ketika kami melihatnya secara langsung di sana. Untuk tempat satu ini, saya berharap suatu hari nanti saya bisa kembali lagi.

Setelah ikut merasakan exciting saat menyaksikan alam yang begitu megah di atas sana, saat turun dari bukit teman saya Muhammad Ali penasaran dan bertanya "John, kok kamu bisa berpikiran untuk naik ke atas sana tadi" dan saya jawab dengan santai saja bahwa karena alam yang terus memanggil-manggil.
Nama Baishiya sendiri berasal dari kata Bai Shi Ya, yang berarti Tebing Putih. Di tepi jalan tidak jauh dari lembah ini ada stupa berwarna putih, nama kuilnya juga sama yaitu Baishiya Temple atau Trakhar Gompa. Jika anda ingin ke lembah ini, patokannya adalah kuil ini.




Baishiya Cave
Cave ini juga dikenal dengan nama Nekhang Cave. Goa ini, letaknya tidak jauh dari lembah Baishiya tempat kami mendaki, namun akses masuknya berada di sisi yang berbeda. Karcis masuk ke goa ini hanya 30 Yuan, namun setelah mendapatkan penjelasan dari driver kami, akhirnya kami memutuskan untuk tidak masuk ke dalam goa.
Goa ini masih sangat natural, konon hanya cocok buat para penjelajah goa, yang sudah berpengalaman. Untuk memasuki goa ini, sebaiknya dilengkapi dengan peralatan caving yang memadai, karena medannya yang sangat berbahaya dan sama sekali tidak ada sarana pengaman. Sudah pernah ada turis yang terjauh dengan kedalaman 20 meter dan meninggal. Oleh sebab itu goa ini dijuluki juga Dangerous Cave.

Ganjia Grasslands
Rasanya tidak perlu sampai harus menunggu ke Mongolia untuk bisa menikmati padang rumput yang luas. Di tempat ini pun kita dengan mudah bisa menemukan padang rumput berhiaskan bunga-bunga. Waktu terbaik untuk menikmati keindahan savana di Ganjia, adalah pada musim Summer antara bulan Juni hingga Agustus. September juga masih bagus namun suhu udara akan sedikit lebih dingin.
Bunga-bunga liar tumbuh dengan subur di atas permadani hijau yang sangat luas. Ini pemandangan yang sangat umum di sini, dan kita dapat menghirup udara yang segar, menikmati langit biru tanpa harus memikirkan karcis masuk karena seluruh permukaan tanah di Ganjia ini adalah padang rumput yang indah dan gratis. Sebagai akibatnya kami banyak menghabiskan waktu untuk turun dan bermain di Savana di sepanjang perjalanan ini.


















Di selatan Xiahe, sebenarnya juga ada padang rumput dengan nama Sangke Grassland, namun tempat itu konon sudah sangat komersial, dan banyak dipenuhi oleh turis lokal. 

Di dalam perjalanan kami kembali ke Xiahe, kami berhenti di sebuah warung untuk makan mie. Perlu dicatat bahwa di Xiahe maupun Ganjia sulit untuk menemukan nasi, makanan pokoknya adalah mie. Warung ini untuk pertama kali menerima tamu dari luar negeri, dan pemiliknya yang juga berprofesi sebagai seorang guru sekolah dasar itu ternyata tidak mengetahui di mana letak Indonesia. Saya meminta selembar kertas dan pena, lalu menunjukkannya dengan menggambar sebuah peta sederhana.



Untuk trip ini kami mencarter sebuah van dari Xiahe dengan tarif 300 Yuan untuk 5 jam pertama. Untuk tambahan setiap jam berikutnya dihitung 25 Yuan. Saya sarankan anda menyewanya lewat bantuan guesthouse, lebih terjamin karena mereka sudah saling kenal.


End.

Xiahe "A Little Tibet", The Majestic Of Gansu Part-2
http://johntravelonearth.blogspot.co.id/2015/11/xiahe-little-tibet-majestic-of-gansu.html

Danxia "Rainbow Mountain", The Majestic Of Gansu Part-3
http://johntravelonearth.blogspot.co.id/2015/11/danxia-rainbow-mountain-majestic-of.html

Southwest Sumba & Treasure Part - 1

Southwest Sumba & Treasure Part - 2

Musim Gugur Di Nusa Penida

West Sumba - Nature & Culture

East Sumba - Land Of A Thousand Savannahs - Part 1













No comments:

Post a Comment