Monday, October 12, 2015

Southwest Sumba & Treasure - Part 1




Sempat terlintas di dalam pikiran saya untuk menjelajahi Pulau Sumba beberapa tahun silam, setelah melihat teman saya Marlin melakukan perjalanan seorang diri ke Pulau Sumba. Saat itu Marlin berpesan, jika saya ingin ke sana seorang diri sebaiknya saya mencari seorang pemandu lokal untuk memudahkan saya dalam beraktivitas, selama saya berada di sana. Karena memasuki pelosok-pelosok di Sumba hampir semua orang dewasa di sana membawa parang. Keadaan akan menjadi sedikit menegangkan apabila terjadi salah komunikasi atau salah paham. Pesan ini sedikit meninggalkan kesan was-was, bahwa keadaan di pelosok masih kurang aman.
Waktu terus berjalan, dua tiga tahun sudah terlampaui namun niat saya untuk mengeksplor tanah Sumba masih belum terwujud. Hingga akhirnya saya mendapatkan rekomendasi seorang driver yang handal, dari teman saya yang baru saja kembali dari sana sekitar 2 bulan yang lalu.
Tanpa mempertimbangkan terlalu banyak, saya langsung menghubungi Cornelis driver yang dimaksud, bahwa saya akan datang pada pertengahan bulan September. Lalu perjalanan direncanakan dan tiket pesawat pun segera dibeli.

Singkat cerita, pesawat Wings yang kami tumpangi dari Denpasar Bali mendarat dengan sempurna siang itu di Bandara Tambolaka, kota Tambolaka/Waitabula, Sumba Barat Daya. Secara fisik dan mental rasanya kami sudah siap untuk menjelajah tanah Sumba selama 7 hari 6 malam, dimulai dari sisi barat daya hingga ke timur. Sekarang tergantung bagaimana cara kami menghadapi situasi suhu udara panas yang super ekstrim di lapangan. Semoga semuanya berjalan dengan lancar dan baik, tanpa ada kendala yang berarti.








Untuk menghemat waktu, kami memutuskan untuk makan siang dulu di sebuah restoran di depan bandara sebelum menuju Sinar Tambolaka, hotel tempat kami akan menginap selama berada di Sumba Barat Daya.

Setelah cek-in di Sinar Tambolaka dan menaruh barang bawaan kami, kami bergegas kembali ke mobil untuk segera melanjutkan perjalanan kami ke Kodi. Saya benar-benar sudah tidak sabaran lagi untuk segera meluncur ke lokasi dan menyaksikan sendiri keindahan alam Sumba, dan selama 2 hari di Sumba Barat Daya ini, aktivitas kami akan terkonsentrasi di kawasan Kodi dan sekitarnya. Perihal Orang Sumba yang punya kebiasaan membawa parang dalam keseharian mereka, itu tidak menjadi kendala bagi kami di lapangan. Karena hal itu sudah menjadi budaya mereka dan pada kenyataannya masyarakat di sini cukup baik. 

Berikut ini adalah tempat-tempat spektakuler, yang berhasil kami jelajahi dan juga momen-momen yang berhasil kami ambil dengan menggunakan kamera sederhana. Anda mungkin akan kaget dan tidak menyangka jika semua keindahan ini berada di wilayah Indonesia. Ini benar-benar sebuah harta karun yang tidak perlu lagi dicari-cari, tetapi ironisnya oleh bangsanya sendiri tidak pernah dianggap berharga.


Kampung Adat Ratenggaro
Sumba Barat Daya merupakan daerah yang masih memelihara budaya aslinya dan mempertahankannya dengan baik. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya rumah tradisional yang masih ditemukan secara umum, dan Kampung Adat secara khususnya. Salah satu yang paling tersohor yaitu Kampung Adat Ratenggaro.

Rumah di Ratenggaro sedikit berbeda dengan rumah tradisonal lainnya, karena bentuk atapnya, yang keseluruhannya terbuat dari bahan rumput itu menjulang tinggi seperti menara. Konon kampung ini pernah mengalami musibah kebakaran pada Juni 2011, namun berhasil dibangun kembali pada bulan Agustus tahun yang sama.













Meski demikian, musibah seperti ini tetap menjadi ancaman paling besar bagi kelestarian rumah adat semacam ini, karena seluruh bangunan mereka terbuat dari bahan yang mudah terbakar, terlebih musim kemarau yang terlalu panjang di wilayah ini.


Pantai Ratenggaro
Pantai Rantenggaro cukup unik karena sisi luarnya adalah laut, sedangkan sisi dalamnya adalah muara Sungai Waiha. Di saat debit airnya sedang meluap, muara ini terlihat lebih menyerupai sebuah danau.


mirip sebuah danau

Pada saat air laut pasang, terjadi pertemuan antara air laut yang asin dengan air tawar dari sungai Waiha. Ini tentu sebuah kejadian yang langka dan merupakan sebuah kolaborasi yang sangat unik, karena keduanya tidak saling mempengaruhi satu sama lain. Air laut tetap asin, begitu juga dengan air sungai yang masih tetap tawar. Alam seakan ingin mengajarkan kepada kita sesuatu bahwa perbedaan yang ada itu sesuatu yang wajar, tak perlu harus memaksakan kehendak untuk menjadi sama. Biarkan segalanya ada sebagaimana kodratnya masing-masing.







Ketika sore tiba, muara sungai ini menjadi tempat untuk mandi, bermain sekaligus tempat untuk memandikan hewan ternak, bagi anak-anak dari Kampung Ratenggaro dan sekitarnya. 











* Megalitic Tombstone/Kuburan Batu Tua
Tiga kuburan batu tua yang terdapat di sisi kanan Pantai Ratenggaro itu diperkirakan sudah berusia ribuan tahun. Masyarakat Ratenggaro percaya bahwa 3 kuburan tua itu adalah kuburan leluhur suku Ratenggaro yang bernama Rato Pati Leko dan 2 orang puteranya yang bernama Rangga Katoda dan Bhoka Roti.


Foto : Chandra Adipranata

Lalu pertanyaan timbul, mengapa ketiga kuburan ini diletakkan di pantai? Menurut para sesepuh suku Ratenggaro, Kampung Ratenggaro konon awalnya memang berada di tempat di mana ke tiga kubur tua itu berada, yang kala itu masih berupa daratan yang jauh dari pantai. Namun karena masalah abrasi, daratan kian hari kian tergerus oleh ombak laut selatan yang ganas, sehingga para leluhurnya memutuskan untuk memindahkan kampungnya ke tempat yang lebih aman yaitu Kampung Ratenggaro yang sekarang. Jadi jelas bahwa bukan sebuah unsur kesengajaan untuk meletakkan kuburan di bibir pantai itu. 


Merapu
Apa itu merapu? Merapu adalah keyakinan lokal atau kepercayaan masyarakat Sumba pada zaman dulu yang oleh sebagian besar masyarakat Sumba di pedesaan masih diyakini dan dianut hingga sekarang.
Merapu seakan sudah melekat dan menjadi bagian dari kehidupan orang Sumba. Mereka meyakini dan memuja roh para leluhur yang sudah meninggal dunia, bahkan mereka kerap mengunjungi kuburan yang letaknya berada di lingkungan rumah dan bercakap-cakap dengan roh para leluhur. Ritual merapu selalu ditandai dengan penyembelihan hewan kurban, misal pada acara penguburan, pindah tulang dan lain sebagainya.

Dalam perjalanan menuju Pantai Pero, kami sangat beruntung karena secara tidak sengaja kami menyaksikan sebuah ritual "pindah tulang" yang sedang berlangsung di halaman sebuah keluarga. Tamu undangannya sangat banyak dan ramai. Kami pun segera turun dari mobil, berlari dan membaur di dalam keramaian itu.
Upacaranya sangat unik. Beberapa anggota keluarga menari-nari sembari mengacungkan parang. Sambil berteriak dan mengeluarkan suara aneh bagaikan orang kesurupan. Sesekali terlihat mereka saling berciuman. Ritual "pindah tulang" adalah upacara untuk memindahkan tulang belulang anggota keluarga yang sudah meninggal dunia, ke tempat yang lebih layak.









Pantai Pero
Pantai Pero adalah pantai dengan beragam keunikan. Sisi kiri dari pantai ini berupa pantai berpasir putih. Pantai pasir putih ini berada persis di mulut muara. Pantai pasir putih ini hanya muncul pada saat air laut surut.



Sedangkan pantai di sisi kanan berkarang dengan terjangan ombak yang sangat dahsyat. Di pantai karang itu terdapat sebuah lobang yang mampu menyemburkan air laut setinggi 1 hingga 2 meter layaknya sebuah air mancur. Di Pantai Pero juga ditemukan batu karang berbentuk kepala buaya, dan kolam di atas batu karang yang sangat eksotis. Pantai ini juga merupakan tempat yang ideal untuk menyaksikan matahari terbenam .








* Karang Buaya
Karang ini benar-benar mirip dengan kepala buaya. Letaknya di sisi kiri pantai Pero. Untuk berfoto di atasnya, anda sebaiknya berhati-hati karena tempat itu terdiri dari jenis karang yang tajam, dan terdapat beberapa lobang yang tembus hingga ke bawah.





* Kolam Natural
Kolam eksotik yang terdapat di atas karang ini boleh dikatakan sangat unik dan indah. Jiwa liar saya, seketika bergejolak dan merasa tertantang untuk duduk di dalam kolam dan mengambil gambar di sana. Meski untuk momen ini saya harus bersabar, menunggu permukaan laut kembali tenang, lalu buru-buru berjalan ke ujung karang dan masuk ke dalam kolam.

Tak diduga baru saja saya duduk, tiba-tiba saya sudah terkena tembakan ombak yang cukup tinggi dari arah belakang. Kejadian ini berlangsung begitu cepat tanpa bisa kami lakukan apa-apa, beruntung posisi badan saya sudah berada dalam keadaan duduk dan tangan sudah berpegangan pada pinggir kolam, jika tidak tentu saya akan terhempas masuk ke dalam laut. Karena posisi kolam berada persis di tepi laut, sehingga gulungan ombak yang tinggi hampir setiap menit menerjang karang itu. Saat beranjak dari kolam untuk kembali ke atas pun tetap harus menunggu laut tenang. Jangan gegabah, dan jangan lakukan jika anda merasa kurang yakin.












* Sunset Yang Indah.
Sunset di Pantai Pero termasuk lumayan indah karena ada obyek pohon, karang sehingga cocok untuk pengambilan foto sunset, maupun sekedar duduk diam sambil mendengarkan dentuman ombak laut selatan yang maha dahsyat.






















* Merzy Homestay
Di pantai ini terdapat sebuah homestay yang lumayan rapi dan bersih. Tentu ini bisa menjadi pilihan, jika anda memang ingin berlama-lama di pantai ini.











( Bersambung.............)


Southwest Sumba & Treasure - Part 2
http://johntravelonearth.blogspot.co.id/2015/10/southwest-sumba-treasure-part-2.html

Musim Gugur Di Nusa Penida
http://johntravelonearth.blogspot.co.id/2015/10/musim-gugur-di-nusa-penida.html

West Sumba - Nature & Culture
http://johntravelonearth.blogspot.co.id/2015/10/west-sumba-nature-culture.html

East Sumba - Land Of A Thousand Savannahs - Part 1












No comments:

Post a Comment